MEMAHAMI ISLAM HANYA DENGAN AL-QUR-AN DAN HADITS AKAN TERSESAT TANPA IJMA' DAN QIYAS
Ijma
dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam....!!
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM...
IKUTILAH
MADZHAB 4, INSYA ALLAH SELAMAT DUNIA AKHIRAT.
Madzhab Syafi'I mayoritas ummat dan jumhur ulama yg di akui dunia islam seluruh dunia perpegang Al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas.
( عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشديـن الامام الشافعى وطريقة النهضيين)
قال صلى الله عليه وسلم اتبعوا السواد الاعظم ولما اندرست المذاهب الحقة بانقراض ائمتها الا المذاهب الاربعة التي انتشرت اتباعها كان اتباعها اتباعا للسواد الاعظم والخروج عنها خروجا عن السواد الاعظم. اھ
Nabi Shollalloh 'alahi wasallam bersabda:
Ikutilah mayoritas (umat Islam).
Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.
[Muhammad Bahith Al-Muthi’i, Sullam Al-Wushul Syarah Nuhayah Al-Sul, (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), Jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581
]
حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham)
(HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, atThobrani, al-Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al-Hafidz As-Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA) adalah golongan ulama terbesar yang menjadi panutan umat Islam sedunia dan Allah SWT tidak menempatkan mereka berada dalam kesesatan, sebagaimana Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar (Hadits Hasan)
ان الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة و يد الله على الجماعة و من شد شد الى النار
Sesungguhnya Allah ta'ala tidak mengumpulkan ummat (ulama-ulama umat) ku atas kesesatan. Dan, kekuatan Allah itu terletak pada jama'ah (kelompok orang banyak). Barangsiapa memisahkan diri dari jama'ah, maka akan bertempat di neraka. (kitab Faidhul Qadir Syarah al-Jami'ush Shoghir jilid 2 halaman 271).
Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’
merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan
ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama
pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.[2]
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm
adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk
menemukan hukum’.[3]
Sumber hukum dalam Islam, ada yang
disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan
(mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan
dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang
masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di
atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi,
syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam
berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum
yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang
diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh
adalah ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]
Keempat sumber hukum yang disepakati
jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus
ke Yaman.
عَنْ
مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ
قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي
كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi
Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan
permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum
dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai
Rasulullah Saw”.[7]
Hal yang demikian dilakukan pula
oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia
merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya.
Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah
Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah
Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena
itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu
ijma’ dan qiyas.
Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa
memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.[9]
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti
kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti
pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[10]
Ijma’ dalam istilah ahli ushul
adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa
setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.[11]
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di
atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa
atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan
menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan
oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di
suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya
disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para
mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis
dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para
mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut
Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari
seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka
dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah
dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas
hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak
membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda
sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan
yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.[12]
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya
sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan
sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan
tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan
tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu
bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan
syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid
al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk
memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai
tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami
maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik
kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid
al-Syariah.[14]
Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal
di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca
kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan
negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan
perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati
masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i
yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para
mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan
ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang
qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]
Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah
menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan
cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.[16]
Dengan demikian qiyas itu penerapan
hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat
akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash
hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana
firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar
illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya
illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka
menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya
baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah
Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak
mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan
nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks
nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas
pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan
dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai
pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat
bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik
dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara
analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya
menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari
(siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah
Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini
berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian
pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka
menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan.
Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan
melampaui.[20]
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum
qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam
masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[21]
Sementara diantara dalil sunnah
mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum
yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya
ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu
macam ijtihad.[22]
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai
qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan
kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu
kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian)
‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah,
jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak
memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena
arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak
memiliki bapak dan anak.[23]
Dalil yang keempat adalah dalil
rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah
untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam
menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya
terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan
tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber
hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan
dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas
menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan
syariat dan maslahah.[24]
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri
dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang
terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu
yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i
yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi
ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang
didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]
.
Wallahu A’lam.
.
[1] Disampaikan pada kajian
keislaman YISC Al-Azhar hari Ahad, tanggal 30 Maret 2008.
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[4] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[6] Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305.
[7] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 402.
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469.
[12] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 45-46.
[13] Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476.
[14] Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
[15] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 46-47.
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[17] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[19] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[20] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[21] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[22] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[23] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.
[24] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.
[25] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78.
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[4] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[6] Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305.
[7] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 402.
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469.
[12] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 45-46.
[13] Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476.
[14] Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
[15] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 46-47.
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[17] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[19] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[20] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[21] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[22] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[23] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.
[24] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.
[25] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78.
.
Catatan:
Dalam beberapa tulisan para wahabi/
salafi, mereka memasukkan “Masalihul-mursalah” sebagai landasan dalil ketika
membolehkan hal-hal baru. Ini terlihat dalam berbagai tulisan dan diskusi
mereka tentang Bid’ah.
“Masalihul-mursalah” adalah satu
metode yang dipakai oleh Imam Maliki dalam madzabnya (madzab maliki) untuk
menentukan hukum,sebagaimana tercatat di sini. Rupanya
mereka berpegang pada imam Syatibi tentang definisi bid’ah itu, dan as Syatibi
adalah seorang ulama bermadzab maliki.
Yang ganjil adalah seharusnya mereka
memakai/ mendahulukan Qiyas pula untuk menentukan hal-hal baru sebagaimana imam
malik (dan imam-imam madzab lainnya), tidak dari Qur’an dan Hadits langsung ke
masalih mursalah. Dalam madzab maliki Qiyas lebih didahulukan daripada
masalihul mursalah. Lihat link kami di atas.
Wallahu a’lam.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/muhammad-khanafi/ijma-dan-qiyas-adalah-juga-sumber-hukum-islam/274464252714565
EmoticonEmoticon