HUKUM MELAFALKAN NIAT DALAM IBADAH - JAWABAN USTADZ IDRUS RAMLI
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Ustadz
Muhammad Idrus Ramli yang saya hormati. Sebagaimana dimaklumi, kaum
Muslimin di Nusantara apabila mau melaksanakan suatu ibadah, memulainya
dengan niat yang diucapkan atau dilafalkan. Misalnya dalam ibadah
shalat, akan berkata ushalli, dalam ibadah wudhu akan berkata nawaitu
dan seterusnya. Belakangan ini ada sebagian kelompok yang mengharamkan
dan membid’ahkan melafalkan niat dalam ibadah. Mereka beralasan bahwa
dalam ibadah shalat, puasa dan wudhu’ tidak ada hadits yang menganjurkan
melafalkan niat. Lagi pula kata mereka, dalam soal ibadah tidak boleh
melakukan qiyas. Bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat dalam ibadah
dalam pandangan para fuqaha Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Jawaban:
Melafalkan niat dalam ibadah termasuk
masalah furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan ulama fuqaha, antara
yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil,
para ulama fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat
kuat dan otoritatif. Sebelum menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan
niat dalam ibadah, ada baiknya kami paparkan terlebih dahulu, tentang
pendapat para ulama fuqaha madzhab yang empat seputar melafalkan niat.
Ada tiga pendapat mengenai hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Pertama, pendapat yang mengatakan
sunnah, agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan hati dalam niat
ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang
mukhtar, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah
madzhab. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah
wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni
al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf
al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
melafalkan niat dalam ibadah adalah makruh. Pendapat ini diikuti oleh
sebagian ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Hanbali. Hal
ini juga diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal.
48 dan al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa
melafalkan niat dalam ibadah adalah boleh (mubah), akan tetapi sebaiknya
ditinggalkan. Kecuali bagi orang yang waswas, maka melafalkan niat
disunnahkan baginya, untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Arafah dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala
al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234 dan al-Shawi dalam al-Syarh
al-Shaghir juz 1 hal. 304.
Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat tentang hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar
para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam ibadah adalah hadits
sebagai berikut ini:
عن أَنَسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
(ketika akan menunaikan ibadah haji dan umrah): “Aku penuhi
panggilan-Mu, untuk menunaikan ibadah umrah dan haji.” HR Muslim.
Dalam hadits di atas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasalmam melafalkan niat dalam ibadah haji dan
umrah. Apabila dalam satu ibadah, melafalkan niat itu dianjurkan, maka
dalam ibadah lainnya juga dianjurkan, karena sama-sama ibadah. Dalam
hadits lain juga diriwayatkan:
عَنْ عَائِشَة َأَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمًا : هَلْ
عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ ؟ قَالَتْ لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إذَنْ أَصُومُ ،
قَالَتْ : وَقَالَ لِي يَوْمًا آخَرَ أَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قُلْتُ نَعَمْ
، قَالَ : إذَنْ أُفْطِرُ وَإِنْ كُنْتُ فَرَضْتُ الصَّوْمَ ” رَوَاهُ
الدَّارَقُطْنِيّ وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ
“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada
suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah
kalian mempunya makanan untuk sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.” Lalu
beliau bersabda: “Kalau begitu, aku berniat puasa.” Aisyah berkata:
“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Apakah
kalian mempuanyai sesuatu (makanan)?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau
bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun tadi aku bermaksud
puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melafalkan niatnya untuk menunaikan
ibadah puasa. Dalam ibadah puasa, melafalkan niat disunnahkan, berarti
dalam ibadah yang lain juga dianjurkan karena sama-sama ibadah.
Perlu diketahui, bahwa dalam niat
puasa, tidak harus menggunakan redaksi nawaitu shauma ghadin (saya niat
puasa besok), bahkan boleh juga dengan redaksi ashumu ghadan (aku niat
puasa besok) atau inni sha’imun ghadan (sungguh aku puasa besok).
Demikian pula, dalam niat shalat, tidak harus dengan redaksi ushalli
(saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi nawaitu shalatal
‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.
Sekarang, apabila melafalkan niat
dalam ibadah shalat dan wudhu’, disunnahkan karena diqiyaskan dengan
ibadah haji dan puasa, lalu bagaimana dengan pernyataan sebagian
kalangan Wahabi yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat
dengan alasan kaedah la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh menggunakan
qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil ‘ibadat
tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf
terhadap dalil qiyas.
Ketika qiyas itu diakui sebagai salah
satu dalil dalam pengambilan hukum Islam, maka penerapannya bersifat
umum, termasuk dalam bab ibadah. Oleh karena itu, kita dapati para ulama
salaf sejak generasi sahabat melakukan qiyas dalam hal ibadah.
Misalnya, al-Imam al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami meriwayatkan dalam
kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian sahabat seperti Anas bin Malik
menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum shalat ‘id. Sementara
sahabat Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah shalat ‘id empat
raka’at. Padahal dalam kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan dan tidak
menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena diqiyaskan dengan shalat
maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri
madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, juga melakukan qiyas
dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi meriwayatkan:
وَسُئِلَ أَحْمَد ُعَنِ
الْقُنُوْتِ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَمْ بَعْدَهُ وَهَلْ
تُرْفَعُ اْلأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ فِي الْوِتْرِ؟ فَقَالَ: اَلْقُنُوْتُ
بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَذَلِكَ عَلىَ قِيَاسِ فِعْلِ
النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُنُوْتِ فِي
الْغَدَاةِ.
“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut
dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan
mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab:
“Qunut dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika
berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR. Ibnu Nashr al-Marwazi dalam
Qiyam al-Lail, hal. 318.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti
Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan
qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:
حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ رَفْعُ
الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ
فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ.
خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa
witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat
witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam
qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan
karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut
nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah
dengan sanad yang shahih.” Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.
Berdasarkan paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa anjuran melafalkan niat dalam ibadah adalah pendapat
mayoritas ulama madzhab yang empat (madzahib al-arba’ah). pendapat
tersebut memiliki dalil yang kuat dan otoritatif (mu’tabar), yaitu
diqiyaskan kepada ibadah haji dan puasa, di mana Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam keduanya. Pendapat tersebut
tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa fil ‘ibadat (tidak
boleh melakukan qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas termasuk dalil
pengambilan hukum dalam Islam, yang berlaku dalam semua bab. Oleh karena
itu, qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para sahabat, al-Imam
Ahmad bin Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi
kontemporer seperti Syaikh Ibnu Baz. Wallahu a’lam.
(Muhammad Idrus Ramli)
EmoticonEmoticon