Syaikh Nasiruddin al-Albani Layakkah Disebut Muhaddits? - Mengenal Lebih Dekat Albani
Kaum Salafi Wahabi: Pantaskah Membanggakan Syaikh Nasiruddin al-Albani ?
Syaikh Nasiruddin al-Albani Layakkah Disebut Muhaddits?
Beberapa tahun belakangan banyak Hadits dalam kitab, buku, artikel, atau postingan
di internet yang memuat kalimat : “disahihkan oleh Syaikh Al-Albani”.
Selama ini orang-orang Ahlu Sunnah wal Jamaah setidaknya hanya mengenal seperti : diriwayatkan oleh
Syaikhon (Imam Bukhari dan Imam Muslim) atau diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam-imam sederajad dengan Imam Bukhori pada zamannya. Sehingga semua hadits
bila telah dishohihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh beliau ini,
sudah pasti lebih mendekati kebenaran. Buat ulama-ulama madzhab sunnah
selain madzhab Wahabi, julukan dan pujian golongan Wahabi/Salafi
terhadap ulama mereka Al-Albani semacam itu tidak ada masalahnya. Hanya sekarang yang dimasalahkan adalah penemuan ulama-ulama ahli hadits
dari berbagai madzhab diantaranya dari Jordania yang bernama Syeikh
Hasan Ali Assegaf tentang banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan
catatan-catatan yang dikemukakan oleh al-Albani ini jumlahnya lebih dari 1200 hadits!! Angka yang spektakuler…
Para pemuja syaikh kelahiran Albania ini kadang bersikap ghuluw
(berlebihan) dalam mempromosikan hadits yg ditakhrijnya dan memuji
pribadinya. Mereka menyebutnya Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah
Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Sayangnya pemujaan terhadap syaikh yang satu ini tanpa disebutkan dari mana sang Mujaddid wal Muhaddits ini mendapatkan sanad hadits.
Sebenarnya Siapakah Syeikh Nasiruddin Al-Albani, Mari kita lihat!
Syeikh Nasiruddin Al-Albani adalah seorang tukang
jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan
meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan
dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya,
sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki
hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak
pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai
sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.
Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun
bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama
Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari”ah di ibukota
negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul). Keluarga beliau kemudian
berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana.
Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang
tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah.
Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah.Dia sendiri
mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad
muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani
mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri
dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa
sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz
(ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu
hadits).
Namun demikian kalangan salafi (sebutan untuk kaum wahabi) menganggap semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan al-Albani mereka pastikan lebih mendekati kebenaran.
Cukup sebagai bantahan terhadapnya, pengakuanya bahwa dia dulunya
bekerja sebagai tukang jam dan hobinya membaca buku-buku tanpa mendalami
ilmu Agama pada para ahlinya dan tidak mempunyai sanad yang diakui
dalam Ilmu Hadits bahkan sanadnya terputus (tidak bersambung sampai ke
Rasulullah), tetapi sanadnya kembali kepada buku-buku yang dibacanya
sendiri.
Albani menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran
kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah
di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk
beliau.
Advertisement
Hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios
reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan
azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah
istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke
perpustakaan.
Namun sayangnya, dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi
profesional dalam urusan agama. Dia memberanikan diri untuk berfatwa dan
mentashhieh hadits atau mendha’ifkannya sesuai dengan keinginan hawa
nafsunya. Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang
berkompeten di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”hadits
telah terputus atau punah.
Dia mengakui bahwa sebenarya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan
sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia
berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan hawa nafsunya
dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa
sesungguhnya mentashih dan mentadhifkan hadits adalah tugas para. hafiz
saja.
Syarat Layak Disebut Muhaddits, Syaikh Nasiruddin al-Albani Layakkah Disebut Muhaddits ?
Sebagai perbandingan salah seorang Muhaddits Indonesia, syaikh
Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani memiliki rantaian sanad yang
bersambung sampai kepada Rasululloh SAW. Sementara syaikh al Albani
dapat dikatakan lebih sebagai kutu buku yang banyak menghabiskan waktu
di perpustakaan untuk mempelajari hadits, ketimbang sebagai ahli hadits
(Muhaddits). Sebab persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai Ahli Hadits
(Muhaddits) amatlah berat.
Setidaknya ada 3 syarat menurut Imam Ibnu Hajr al Asyqolani Asy Syafi’ie :
1 – Masyhur dalam menuntut ilmu hadits dan mengambil riwayat dari mulut para ulama, bukan dari kitab-kitab hadits saja
2 – Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka
3 – mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
2 – Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka
3 – mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah
1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania.
Nasihat kami bagi seluruh umat Islam untuk tidak membaca kitab-kitab Nasiruddin al-Albani dan
tidak merujuk kepada tashih dan tadh`ifnya dalam hadits. Justru
kewajiban syar’i adalah melakukan tahzir terhadapnya dan terhadap
karangan-karangannya demi membela Islam dan Muslimin.
Berbagai Sumber
EmoticonEmoticon