TERUSKAN TAHLILAN... KARENA TAHLILAN ITU SUNNAH BUKAN BID'AH HASANAH
-
.....................................................................................................................................
Sebenarnya permasalahan ini merupakan
permasalahan yang cukup usang dan sudah lama diperdebatkan. Akan tetapi
dirasa perlu untuk diangkat kembali karena ada pergeseran isu yang cukup
substantive, yaitu dari furu’ menuju ushul. Maksudnya, pada awalnya
permasalahan ini dianggap sebagai permasalahan furu’iyah, sehingga
masing-masing pihak yang berdebat tidak saling mengkafirkan dan
mensyirikkan, dan kemudian berubah menjadi permasalahan ushul, sehingga
pihak-pihak yang tidak setuju terhadap ziarah kubur dan tahlilan
mengkafirkan dan mensyirikkan para pelakunya.
Semua pasti sepakat bahwa syirik dan
kafir adalah hal yang mesti harus dijauhi dan dihindari. Semua muslim
dari manapun kelompok dan organisasinya pasti marah apabila keislaman
dan keimanannya dianggap tercemar dan berlumuran dengan Lumpur
kesyirikan dan kekafiran. Demikian juga halnya dengan kita warga
nahdliyin, akan marah dan jengkel ketika keislaman dan keimanan kita
dianggap berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. Dalam
konteks inilah sebenarnya LBM NU cabang Jember secara intensif melakukan
kajian-kajian terhadap tradisi amaliyah nahdliyah dan melakukan
advokasi terhadapnya dengan sebuah keyakinan bahwa para pendiri
Nahdlatul Ulama adalah sosok ulama yang tingkat keislaman, keimanan,
keilmuan dan keikhlasannya tidak perlu diragukan lagu, sehingga dalam
menerima dan melanggengkan amaliyah nahdliyah beliah-beliau pasti
selektif dan didasarkan pada sebuah ilmu, tidak ngawur, serampangan
apalagi sembrono.Dengan tingkat keilmuan dan keikhlasan yang dimiliki
pasti beliau-beliau itu lebih takut dosa dan neraka dibandingkan dengan
kita, dan mungkin saja dibandingkan dengan mereka para penyerang tradisi
amaliyah nahdliyah.
Semua permasalahan apabila dinisbahkan kepada Islam pasti sangat
mudah untuk menyelesaikannya. Karena, semua keputusan hukum di dalam
Islam harus selalu ada cantolan dalilnya. Seseorang tidak dapat
memubahkan, mewajibkan, mengharamkan, mensunnahkan dan memakruhkan
sesuatu apabila tidak ada cantolan dalil dan argumentasinya. Demikian
juga halnya dengan para pendukung dan penentang amaliyah tahlilan dan
ziarah kubur harus mendasarkan pandangannnya pada dalil-dalil yang
absah, tidak boleh hanya didasarkan pada logika, hayalan dan lamunan
saja.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlilan.
Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.
Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :
•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap)
•Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.
1. Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
Memang harus diakui bahwa kata “tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :
Dari al-Qur’an
Surat al-Hasyr : 10
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Surat Muhammad : 19
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.
Dari al-Hadits
Dari Logika
2. Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur’an, halal bi halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :
3. Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap).
Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar berkumpul” dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.
Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlilan.
Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.
Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :
•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap)
•Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.
1. Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
Memang harus diakui bahwa kata “tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :
Dari al-Qur’an
Surat al-Hasyr : 10
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Surat Muhammad : 19
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.
Dari al-Hadits
•وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله
عليه وآله وسلم «لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة
وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk
dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat,
diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah
di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.
•وَمِنْ حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا
يَذْكُرُونَ اللَّه تَعَالَى ” أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ
اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَة ” .
” Dari hadits Mu’awiyah yang dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda
untuk para jama’ah yang duduk berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril
datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu
kepada malaikat”Dari Logika
إن الجماعة قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا
والحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية
بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي
كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك
القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين. (الموسوعة
اليوسفية )
Dari uraian dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi
tahlilan memliki cantolan dalil, baik naqliy (al-qur’an dan al-hadits),
maupun aqliy.2. Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur’an, halal bi halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :
o ( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا
يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى
الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا
يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ
لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ
وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ
عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ
يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ
مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا
يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ
فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ
الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى
أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ
بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ
شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ
.( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي
السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا
إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ
بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي
عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ
أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ
فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ
عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ
الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ
التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ
كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ
فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ
مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ
إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ ( الفتاوى
الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر
او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان
وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام
العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت
كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة
دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم
(نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)
Tradisi yang berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah :
apabila ada seorang muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat
yang ada disekitarnya berbondong-bondong melakukan ta’ziyah, dan dapat
dipastikan bahwa pada saat ta’ziyah kebanyakan dari mereka membawa
beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di kanan-kiri
bau-membau membantu keluarga korban untuk memasak dan menyijakan jamuan,
baik untuk keluarga korban atau untuk para penta’ziyah yang hadir.
Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai
terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم
Hadits di atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi
mubadzir, karena kalau seandainya semua tetangga yang ta’ziyah membawa
makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang
basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam
acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para tetangga
yang hadir adalah berdo’a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan boleh
diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan kyai
yang menjadi tokoh sentral warga nahdliyin memberikan pemahaman dan
anjuran agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau
mungkin hanya sekedar suguhan teh saja.3. Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap).
Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar berkumpul” dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Berkumpul pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang
menjadi tujuan adalah berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang
mengalami ujian berat sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat
al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق
المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من
ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها
Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena
gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang
takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada
yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain
daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa
bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.
4. Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Sebagai gambaran awal untuk memetakan tentang konsep tawasul, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mutawassal bih yang berupa al-a’mal al-shalihah.
2. Mutawassal bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah. Mutawassal bih
yang berupa al-dzawat al-fadlilah dibagi menjadi dua, yaitu :
o Dengan nabi Muhammad SAW. Kategori ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
- Sebelum lahirnya nabi (قبل وجوده )
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)
o Dengan awliya dan shalihin. Kategori ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).
Tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai diperbolehkannya
menggunakan al-a’mal al-shalihah sebagai mutawassal bih. Hal ini
didasarkan pada hadits nabi yang bercerita tentang tiga orang pemuda
yang terjebak di sebuah goa. Hadits tersebut berbunyi :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ
حَدَّثَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ –
رضى الله عنهما – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
يَقُولُ « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى
أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ
الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ
يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ
بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ كَانَ لِى
أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا
أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ
أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا
فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً
أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ
اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا
غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ،
فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ » . قَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ
عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ،
فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ،
فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ
تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ
عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ
بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ
عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى
أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ،
غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا . قَالَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى
اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ
وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى
كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ
اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ
أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ
أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ
مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ
فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » .
Sedangkan tawassul dengan menggunakan dzawat fadlilah (orang-orang
yang keistimewaan di hadapan Allah, dari kalangan para nabi, awliya dan
shalihin) terjadi perbedaan pendapat yang cukup ekstrim tentang masalah
ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya dan bahkan
menganggapnya sebagai sebuah bentuk kesyirikan. Semua pandangan, baik
yang pro maupun yang kontra harus diapresiasi selama menggunakan dalil,
analisa dan argumentasi yang ilmiyah. Sebaliknya, pandangan yang
subyektif, sectarian dan tidak disertai argumentasi yang ilmiyah harus
ditolak dan diluruskan.
Dalil-dalil yang menguatkan kebolehan tawasul dengan menggunakan dzawat fadlilah adalah :
• Bi al-nabi :
o Qabla wujudihi. Hadits nabi yang menguatkan hal ini adalah :
(قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : لما اقترف آدم الخطيئة قال :
يارب ! أسألك بحق محمد لما غفرت لي ، فقال الله: ياآدم ! وكيف عرفت محمداً
ولم أخلقه ؟ قال : يارب ! لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت فيَّ من روحك رفعت
رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً لا إله إلا الله محمد رسول الله ،
فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك ، فقال الله : صدقت يا آدم ،
إنه لأحب الخلق إليَّ ، أدعني بحقه فقد غفرت لك ، ولولا محمد ما خلقتك))
.أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه [ج2 ص615] (1) ، ورواه الحافظ السيوطي في
الخصائص النبوية وصححه (2) ، ورواه البيهقي في دلائل النبوة وهو لا يروي
الموضوعات ، كما صرح بذلك في مقدمة كتابه (3) ، وصححه أيضاً القسطلاني
والزرقاني في المواهب اللدنية [ج1 ص62](4) ، والسبكي في شفاء السقام ، قال
الحافظ الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط وفيه من لم أعرفهم (مجمع الزوائد
ج8 ص253)
o Fi hayatihi. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
ائت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قال اللهم إني أسألك وأتوجه إليك
بنبيك محمد – صلى الله عليه وسلم – نبي الرحمة يامحمد إني أتوجه بك إلى ربك
فيجلي لي عن بصري ، اللهم شفعه فيَّ وشفعني في نفسي ، قال عثمان : فوالله
ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر)) ..قال
الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه .وقال الذهبي عن الحديث : أنه
صحيح (ج1 ص519) .
o Ba’da wafatihi. Penjelasan yang menguatkan tentang hal ini adalah :
وليس هذا خاصاً بحياته – صلى الله عليه وسلم – بل قد استعمل بعض
الصحابة هذه الصيغة من التوسل بعد وفاته – صلى الله عليه وسلم – فقد روى
الطبراني هذا الحديث وذكر في أوله قصة وهي أن رجلاً كان يختلف إلى عثمان بن
عفان رضي الله عنه في حاجة له ، وكان عثمان رضي الله عنه لا يلتفت إليه
ولا ينظر في حاجته ، فلقى الرجل عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه ، فقال له
عثمان بن حنيف : ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصل فيه ركعتين ثم قل
:اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد – صلى الله عليه وسلم – نبي
الرحمة ، يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي . وتذكر حاجتك ..
• Bi al-anbiya wa al-shalihin
o Fi hayatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
أخرج البخاري في صحيحه عن أنس أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه – كانوا
إذا قحطوا – استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : [ اللهم إنا كنا نتوسل
إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا ] .
o Ba’da wafatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله – صلى الله عليه
وسلم – : من خرج من بيته إلى الصلاة ، فقال : اللهم إني أسألك بحق
السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشراً ولا بطراً ولا رياء ولا
سمعة ، خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ، فأسألك أن تعيذني من النار ، وأن
تغفر لي ذنوبي ، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله بوجهه واستغفر له
سبعون ألف ملك .
Uraian di atas menegaskan bahwa tradisi tahlilan yang dilakukan
oleh warga nahdliyin memiliki dasar, dalil dan argumentasi yang kuat,
sehingga tidak patut untuk disesatkan, disyirikkan atau dibid’ahkan.
Menganggap tradisi tahlilan adalah bid’ah, sesat dan syirik berarti yang
bersangkutan kurang memahami konsep dan dalil agama islam.
Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli/ www.idrusramli.com
Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli/ www.idrusramli.com
EmoticonEmoticon