ZIARAH KUBUR - DALIL DAN ARGUMENTASINYA
-
..................................................................................................................................................................
Tak seorangpun dapat menyangkal dan
menentang bahwa ziarah kubur merupakan hal yang disyariatkan di dalam
Islam. Namun demikian, masih saja terdapat kelompok orang yang menentang
ziarah kubur dengan berbagai dalih dan alasan yang tentunya kurang
ilmiyah dan sangat emosional.
Ada nasihat yang sangat menarik yang ditawarkan oleh Imam al-qurthubi di dalam kitab tafsirnya yang berbunyi :
قال العلماء : ينبغي لمن أراد علاج قلبه
وانقياده بسلاسل القهر إلى طاعة ربه ان يكثر من ذكر هاذم اللذات ومفرق
الجماعات وموتم البنين والبنات ويواظب على مشاهدة المحتضرين وزيادرة قبور
أموات المسلمين فهذه ثلاثة أمور ينبغي لمن قسا قلبه ولزمه ذنبه أن يستعين
بها على دواء دائه ويستصرخ بها على فتن الشيطان وأعوانه فإن انتفع بالإكثار
من ذكر الموت وانجلت به قساوة قلبه فذاك وإن عظم عليه ران قلبه واستحكمت
فيه دواعي الذنب فإن مشاهدة المحتضرين وزيارة قبور أموات المسلمين تبلغ في
دفع ذلك ما لا يبلغه الأول لأن ذكر الموت إخبار للقلب بما إليه المصير
وقائم له مقام التخويف والتحذير وفي مشاهدة من احتضر وزيادة قبر من مات من
المسلمين معاينة ومشاهدة فلذلك كان أبلغ من الأول
Dari pandangan dan uraian Imam
al-Qurtubi di atas, kita akan menganggap wajar dan bahkan menganggap
benar tradisi ziarah kubur yang dilakukan dan digandrungi oleh kalangan
nahdliyin dengan berjamaah ziarah ke makam wali songo dan lain
sebagainya. Karena ziarah kubur merupakan salah satu dari tiga hal yang
mujarab untuk mengobati dan menundukkan kerasnya hati; tiga hal dimaksud
adalah : mengingat mati, menyaksikan orang yang sedang sakaratul maut
dan ziarah kubur.
Dari pandangan ini, maka sebenarnya
orang yang berziarah ke makam para wali tidak hanya berkesempatan untuk
bertawasul kepada para awliya dan shalihin, akan tetapi juga
berkesempatan untuk mengobati hatinya sehingga pada akhirnya akan lebih
taat kepada Allah.
Disamping pertimbangan di atas hadits
nabi yang menjelaskan tentang dianjurkannya ziarah kubur sangat banyak
dan dikeluarkan oleh banyak perawi, sehingga tingkat kemakbulannya tidak
dapat diragukan lagi. Hadits-hadits dimaksud diantaranya adalah :
• حدثنا زبيد بن الحارث عن محارب بن
دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني كنت
نهيتكم عن ثلاث عن زيارة القبور فزوروها ولتزدكم زيارتها خيرا …. (رواه
النسائى )
• و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن أيوب بن هانىء عن مسروق بن الأجدع عن عبد الله بن مسعود : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم الأضاحي فوق ثلاث و عن نبيذ الأوعية ألا فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا و تذكر الآخرة …. (رواه الحاكم )
• حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ عَنْ مَسْرُوقِ بْنِ الأَجْدَعِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ». (رواه ابن ماجه )
• حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبًا مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ وَقَالَ لَهُ : مَا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ :« إِنِّى اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى اسْتِغْفَارِى لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَبَكَيْتُ لَهَا رَحْمَةً مِنَ النَّارِ ، وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ أَنْ تُمْسِكُوهَا فَوْقَ ثَلاَثٍ فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشُّرْبِ فِى الأَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوا فِى أَىِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ زُهَيْرٍ دُونَ قِصَّةِ أُمِّهِ. (رواه البيهقي )
• و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن أيوب بن هانىء عن مسروق بن الأجدع عن عبد الله بن مسعود : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم الأضاحي فوق ثلاث و عن نبيذ الأوعية ألا فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا و تذكر الآخرة …. (رواه الحاكم )
• حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ عَنْ مَسْرُوقِ بْنِ الأَجْدَعِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ». (رواه ابن ماجه )
• حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبًا مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ وَقَالَ لَهُ : مَا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ :« إِنِّى اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى اسْتِغْفَارِى لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَبَكَيْتُ لَهَا رَحْمَةً مِنَ النَّارِ ، وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ أَنْ تُمْسِكُوهَا فَوْقَ ثَلاَثٍ فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشُّرْبِ فِى الأَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوا فِى أَىِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ زُهَيْرٍ دُونَ قِصَّةِ أُمِّهِ. (رواه البيهقي )
Meskipun manfaat ziarah kubur sangat
besar dan dalil yang menguatkannya juga sangat banyak, namun masih saja
banyak kelompok yang menentang ziarah kubur. Dari literature yang kita
baca yang ditulis oleh para penentang ziarah kubur dapat disimpulkan
bahwa penentangan mereka bermuara pada beberapa alasan diantaranya
adalah :
• Berbagai kemaksiatan banyak terjadi pada saat ziarah kubur.
• Kesyirikan banyak dilakukan oleh para peziarah.
Dua alasan di atas merupakan alasan
yang bersifat ‘aridly (insidentil) dan bukan sesuatu yang pasti terjadi.
Karena demikian, sebuah pembahasan akan menjadi bias dan tidak ilmiyah
karena meninggalkan substansi permasalahan yang sebenarnya. Marilah kita
mencoba untuk mengkritisi alasan yang mereka kemukakan.
1) Penentang ziarah kubur menyebutkan banyak kemaksiatan yang terjadi pada saat ziarah
Berbagai kemaksiatan terjadi pada saat ziarah kubur.
kubur, diantaranya adalah :
kubur, diantaranya adalah :
• Terjadi ikhthilat (percampuran) antara laki-laki dan perempuan
• Perempuan mempertontonkan (tabarruj) aurat dan kecantikannya
• Perempuan memakai wangi-wangian
• Berkata kotor dalam senda gurau
• Lebih mementingkan kuburan dari pada shalat berjamaah
• Dan lain-lain
• Perempuan mempertontonkan (tabarruj) aurat dan kecantikannya
• Perempuan memakai wangi-wangian
• Berkata kotor dalam senda gurau
• Lebih mementingkan kuburan dari pada shalat berjamaah
• Dan lain-lain
Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan bahwa kemaksiatan yang
terjadi pada saat ziarah kubur bersifat ‘aridly dan tidak talazum antara
ziarah kubur dan kemaksiatan dimaksud. Bukan merupakan sebuah
keniscayaan, seseorang yang pergi ziarah pasti melakukan kemaksiatan
dimaksud, lebih-lebih apabila konteks pembicaraan dibatasi hanya pada
kalangan intelektual, santri atau orang-orang yang berilmu, maka
kemaksiatan tersebut tidak akan terjadi.
Kemaksiatan mungkin saja terjadi apabila orang yang ziarah kubur
sangat awam terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan dalam konteks ini pasti
semua sepakat bahwa kita harus memberikan arahan, bimbingan, tuntunan
sehingga mereka menyadari betul apa arti penting dari ziarah kubur,
bukan justru melarang sama sekali kegiatan ziarah kubur.
Kemaksiatan yang disebutkan di atas dapat terjadi dimana saja.
Menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal, baik di tingkat SMP, SMA
atau perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Islam
membutuhkan kader-kader yang berprofesi sebagai dokter, advokat, polisi,
ekonom dan lain-lain. Islam tidak hanya membutuhkan kader-kader yang
hanya bisa membaca kitab kuning saja. Realitas mengatakan bahwa tidak
ada kewajiban untuk memakai jilbab atau menutup aurat di lembaga
pendidikan formal yang disebutkan di atas.
Tidak ada larangan untuk memakai lipstick, memakai wangi-wangian
dan lain sebagainya. Pertanyaannya kemuadian adalah : apakah kader-kader
kita harus dicegah untuk menuntuk ilmu yang sangat dibutuhkan oleh umat
Islam gara-gara banyak kemaksiatan yang terjadi di lembaga pendidikan
formal yang menjadi tempat menuntut ilmu tersebut ? apabila kita harus
melarang, maka dapat dipastikan bahwa Islam akan menjadi agama pecundang
dan akan sulit menghadapi gempuran dan serangan dari agama lain.
Alangkah bijak dan arifnya apabila sikap yang kita pilih adalah
tetap mengirimkan putra-putri terbaik kita untuk menuntut ilmu dan
menasehati, menjaga dan mengawasi meraka agar pada saat menuntut ilmu
tidak berbuat kemaksiatan (membuka aurat, tabarruj, memakai
wangi-wangian yang memancing laki-laki hidung belang untuk menggoda dan
seterusnya).Realitas semacam ini tidak hanya terjadi dalam konteks
pendidikan, akan tetapi juga terjadi di angkutan umum, rumah sakit,
pergi haji dan lain-lain. Kita tidak mungkin melarang orang pergi dengan
menggunakan angkutan umum, pergi haji dan lain-lain hanya karena disana
terdapat kemaksiatan yang bersifat insidentil. Bagaimanapun harus
diakui bahwa ziarah kubur adalah anjuran.
Yang dilarang adalah kemaksiatan yang terjadi tidak hanya dalam
konteks ziarah kubur, sehingga yang harus diberangus dan dilarang bukan
ziarah kuburnya, akan tetapi kemaksiatannya.
2) Banyak kesyirikan yang dilakukan oleh para peziarah.
Kesyirikan yang dianggap terjadi pada saat ziarah kubur diantaranya adalah :
• Meminta tolong, kesuksesan dan lain sebagainya pada kuburan
• Membaca doa,dzikir, shalawat yang mengandung unsur kesyirikan.
• Dll
• Membaca doa,dzikir, shalawat yang mengandung unsur kesyirikan.
• Dll
Untuk mengurai masalah ini, ada beberapa topik yang harus kita kaji, diantaranya adalah :
• Posisi khaliq dan Makhluq
• Ta’dhim, antara ibadah dan adab
• Majaz aqliy
• Meminta tolong kepada makhluk
• Ta’dhim, antara ibadah dan adab
• Majaz aqliy
• Meminta tolong kepada makhluk
Posisi Khaliq dan Makhluq
Kajian tentang posisi al-Khaliq dan al-makhluq cukup signifikan
dalam konteks ilmu tawhid, karena hal ini akan menjadi garis demarkasi
yang cukup tegas (al-had al-fashil) dalam rangka menilai dan menakar
apakah seseorang masih dianggap sebagai seorang muslim atau sudah
dianggap nyeleweng dan tersesat dari ajaran Islam.Secara sederhana dapat
ditegaskan bahwa al-khaliq adalah merupakan dzat penentu segalanya,
yang mendatangkan manfaat dan madlarat dan segala sesuatu yang terjadi
di dunia ini. Ini adalah merupakan posisi khaliq yang tidak dimiliki
oleh makhluq. Sedangkan makhluq hanyalah merupakan hamba yang sama
sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat, bahaya,
kematian, kehidupan dan lain sebagainya. Sebagaimana hal ini ditegaskan
di dalam al-Qur’an surat al-a’raf : 188.
Kesadaran akan posisi al-Khaliq dan al-Makhluq ini pada akhirnya
menjadikan kita dapat menilai dengan pasti apakah praktik amaliyah
keseharian kita termasuk dalam kategori syirik atau tidak. Ketika
seseorang mencoba mencampur-adukkan antara posisi khaliq dengan makhluk,
misalnya dengan meyakini bahwa sebagian makhluq memiliki kemampuan
untuk mendatangkan madlarat dan manfaat tanpa dengan idzin dan kehendak
Allah, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan
perbuatan syirik yang nyata. Ziarah kubur, bertawasul, istighatsah,
bershalawat, membaca burdah dan lain sebagainya tidak berefek apa-apa
terhadap kemurnian iman dan tawhid kita, ketika kita tetap berkeyakinan
bahwa dzat yang mampu mendatangkan manfaat dan madlarat hanyalah Allah
SWT.
Ta’dzim antara Ibadah dan adab
Banyak orang yang keliru dalam menilai hakikat dari ta’dzim dan
ibadah. Mereka mencampuradukkan dua hal yang sebenarnya berbeda ini,
sehingga pada akhirnya melakukan generalisasi dan menganggap bahwa semua
bentuk ta’dzim adalah ibadah. Berdiri dalam rangka memberi hormat,
mencium tangan orang yang alim, mengagungkan nabi dengan menggunakan
lafadz “sayyidina”, berdiri di depan makam beliau dengan penuh kesopanan
dan ketundukan dianggap sebagai penghormatan yang keterlaluan yang
merupakan bagian dari ibadah, sehingga hal itu semua harus dilarang
karena syirik.
Pandangan semacam ini merupakan sebuah bentuk kebodohan dan
pengingkaran yang pasti tidak akan mendapatkan restu dari Allah dan
rasul-Nya dan bertentangan dengan ruh syariat Islam. Hal ini harus
ditegaskan, karena yang dicontohkan di dalam al-Qur’an tidak hanya
berdiri, mencium tangan, atau sekedar ziarah kubur, akan tetapi lebih
dari itu, yaitu perintah Allah kepada para malaikat dan juga iblis untuk
bersujud kepada nabi Adam, sebagaimana firman Allah di dalam surat
al-baqarah 34 .
Disamping disebutkan di dalam surat al-Baqarah, peristiwa tentang
perintah Allah kepada para malaikat dan juga Iblis untuk bersujud kepada
nabi Adam juga terekam di dalam surat al-a’raf, al-isra’, al-kahfi dan
surat Thaha.
Sujud merupakan bentuk kepasrahan tertinggi yang dilakukan oleh
seseorang, akan tetapi tidak secara serta merta dianggap sebagai sebuah
bentuk ibadah. Apabila perilaku seseorang hanya dinilai dari aspek
luarnya saja, tanpa memperhatikan motivasi dan niatnya, maka seharusnya
sujudnya para malaikat terhadap nabi adam harus dianggap sebagai sebuah
bentuk kesyirikan dan berhak mendapatkan murka Allah.
Dan seharusnya pula apa yang dilakukan oleh Iblis merupakan sebuah
bentuk pemurnian tawhid yang harus mendapatkan apresiasi dan pahala dari
Allah. Akan tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Malaikat yang
bersujud kepada nabi Adam mendapatkan ridla dari Allah SWT, sedangkan
Iblis yang tidak mau bersujud kepada nabi Adam dan melakukan
pembangkangan justru mendapatkan murka dari Allah.
Imam al-Alusiy di dalam tafsirnya ketika menjelaskan tentang
ayat-ayat di atas memberikan penegasan tentang pengertian sujud dengan :
والسجود في الأصل تذلل مع انخفاض بانحناء وغيره ، وفي الشرع وضع الجبهة على قصد العبادة ( تفسير الالوسي ج 1 ص 269)
“ Sujud pada asalnya diterjemahkan dengan merendahkan diri dengan
cara membungkuk atau yang lain, sedangkan menurut syara’ adalah
meletakkan dahi dengan tujuan ibadah”
Sujud yang dilakukan dengan cara membungkuk atau bahkan dengan cara
meletakkan dahi ke tanah, tidak dapat dianggap sebagai sebuah bentuk
ibadah ketika tidak ada qashdu al-ibadah, sehingga dapat dipahami bahwa
apa yang dilakukan oleh para malaikat terhadap nabi Adam tidak lebih
dari sekedar sujud perhormatan dan bukan sujud ibadah, sehingga tidak
dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesyirikan.
Sujud yang merupakan bentuk merendahkan diri yang luar biasa masih
tergantung pada qashdu al-ibadah untuk dapat dianggap sebagai ibadah,
apalagi hanya sekedar ziarah wali songo, istighatsah, tawassul dan
lain-lain.
Dari uraian di atas menjadi penting untuk dibedakan tentang
pengagungan (ta’dzim) antara ibadah dan adab (etika/sopan santun).
Ta’dzim terhadap makhluk karena pemulyaan, adab, etika dan sopan santun
dan tidak sampai pada penyembahan sangat dianjurkan dan jauh dari unsur
kesyirikan.
Majaz Aqliy
Konsep tentang hakikat dan majaz perlu mendapatkan kajian yang
memadai karena kelompok yang hobi menyesatkan dan mensyirikkan kelompok
lain ternyata hanya mendasarkan diri pada teks do’a, dzikir, shalawat
dan lain sebagainya yang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan
sehari-hari.
Dalam konteks ushul fiqh ketika berbicara tentang isti’mal
al-lafdzi fi al-ma’na, arti sebuah lafadz diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu : hakikat dan majaz. Hakikat diterjemahkan dengan :
كل لفظ اريد به ما وضع له في الاصل لشيء معلوم
” setiap lafadz yang dimaksudkan dengannya arti asal dari lafadz tersebut”
Sedangkan majaz adalah :
كل لفظ مستعار لشيء غير ما وضع له لمناسبة بينهما او لعلاقة مخصوصة
“ setiap lafadz yang dipinjam untuk sesuatu yang lain karena adanya
kesesuaian diantara keduanya atau karena adanya hubungan yang khusus”
Tidak dapat diragukan lagi bahwa penggunaan majaz di dalam al-Qur’an benar-benar terjadi, seperti firman Allah,
Arti dari firman Allah di atas adalah “ dan ketika dibacakan ayat-ayat al-qur’an atas mereka, maka ayat-ayat tersebut menambah keimanan mereka dan hanya kepada tuhan mereka, mereka bertawakkal”
Arti dari firman Allah di atas adalah “ dan ketika dibacakan ayat-ayat al-qur’an atas mereka, maka ayat-ayat tersebut menambah keimanan mereka dan hanya kepada tuhan mereka, mereka bertawakkal”
Kata-kata زادتهم ايمانا apabila diterjemahkan berdasarkan arti
hakitat akan berdampak pada sebuah kesimpulan bahwa ayat al-qur’an mampu
menambah keimanan seorang mukmin yang mendengarkan dan memperhatikan
ayat-ayat Allah. Seseorang yang memiliki pemahaman semacam ini dapat
dipastikan bahwa yang bersangkutan mencampur adukkan posisi al-khaliq
dan makhluk, karena berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang lain selain
Allah yang memiliki kekuatan.
Karena demikian, maka yang bersangkutan pasti disebut sebagai orang
yang musyrik. Ayat al-qur’an di atas harus dipahami dengan menggunakan
arti majaz dan qarinahnya adalah akal dan pikiran kita. Contoh analisis
sederhana di atas dan masih banyak contoh-contoh yang lain di dalam
al-qur’an dan al-hadits menjadikan kita harus berkesimpulan bahwa
terminologi majaz dikenal dan harus diperhatikan dalam rangka memahami
teks-teks keagamaan, baik do’a, dzikr, shalawat atau yang lain.
Shalawat nariyah, shalawat al-fatih, qashidah burdah, hizb bahr dan
lain sebagainya dianggap sebagai teks-teks yang mengandung syirik lebih
disebabkan karena sudut pandang, kerangka fikir dan paradigma analisis
yang dipakai adalah ”teks-teks keagamaan harus selalu dipahami dengan
menggunakan arti hakikat dan tidak mengenal arti majaz”. Sudut pandang,
kerangka fikir dan paradigma analisis semacam ini pada akhirnya
menjadikan kita harus menolak sebagian ayat-ayat al-qur’an dan hadits
nabi yang tidak dapat dipahami kecuali dengan menggunakan arti majaz.
Meminta Tolong Kepada Makhluk, Syirik ?
Diantara hal yang patut mendapatkan tanggapan secara serius adalah
adanya anggapan bahwa meminta tolong kepada makhluk Allah dari para nabi
dan orang-orang shaleh adalah termasuk dalam kategori perbuatan syirik.
Perlu ditegaskan bahwa untuk mensyirikkan sebuah perbuatan hendaknya
kita harus selalu mendasarkan pada teks-teks al-qur’an dan al-hadits,
dan bukan didasarkan pada dugaan dan kebencian kita terhadap kelompok
atau amaliyah kelompok tertentu.
Anggapan bahwa meminta tolong kepada para nabi dan orang-orang
shaleh termasuk dalam kategori syirik sebenarnya lebih disebabkan oleh
kedangkalan ilmu agama mereka dan kekurang-jelian mereka akan realitas
sejarah yang terekam baik di dalam al-qur’an, maupun al-hadits. Kasus
nabi Sulaiman yang terekam di dalam al-qur’an dimana beliau meminta
kepada bangsa jin dan manusia yang menjadi pengikutnya untuk
mendatangkan dan memindahkan istana ratu Bulkis ke istana beliau adalah
contoh konkrit yang ada di dalam al-qur’an mengenai masalah
ini.sebagaimana yang ditegaskan di dalam al-Qur’an,
Memindahkan istana Bulkis dengan model sebagaimana yang dijelaskan
di dalam al-Qur’an adalah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh Allah. Semua nabi Allah termasuk nabi Sulaiman pasti
memahami akan hal itu. Akan tetapi realitasnya nabi Sulaiman tetap
meminta kepada pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan oleh pengikutnya tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah apakah
kita berani menuduh dan menetapkan nabi Sulaiman sebagai orang yang
kafir atau musyrik karena telah meminta tolong kepada makhluk Allah
untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya diluar kemampuan mereka ?
Nabi Muhammad tidak pernah menegur para sahabat yang meminta
kesembuhan dan sesuatu yang lain yang diluar kemampuan manusia kepada
beliau dengan mengatakan kamu semua sudah melakukan perbuatan syirik,
oleh sebab itu kamu harus memperbaharui keimanan kamu, pun juga demikian
al-Qur’an juga tidak pernah menetapkan nabi Sulaiman yang melakukan hal
di atas sebagai orang yang musyrik.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa selama kita masih
memposisikan al-Khaliq sebagai khaliq yang memiliki kuasa untuk
mendatangkan manfaat dan madlarat dan menempatkan makhluk sebagai
makhluk yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk mendatangkan
manfaat dan madlarat, maka meminta tolong kepada para nabi dan
orang-orang shaleh yang hanya kita anggap sebagai wasilah bukanlah
merupakan perbuatan syirik, lebih-lebih hal ini sudah pernah dicontohkan
oleh nabi sulaiman dan para sahabat rasul. Bukankah yang paling
mengerti akan ketauhidan adalah rasul dan sahabatnya ?
والله اعلم بالصواب
(Muhammad Idrus Ramli / www.idrusramli.com)
EmoticonEmoticon