HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING
Imam al-Raghib al-Asfihani dalam kitabnya Mufradat al-Qur'an mengatakan bahwa kata al-Ibda'
mempunyai makna menciptakan (mengadakan) pekerjaan tanpa meniru dan
mengikuti contoh yang lain. Ketika lafadz-lafadz tersebut digunakan
(dinisbatkan) pada Allah SWT, maka kata al-ibda' mempunyai
pengertian bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan atau mengadakan
sesuatu tanpa menggunakan alat dan bahan (materi), juga tanpa zaman
(waktu) dan tempat. Yang demikian ini hanyalah berlaku bagi Allah semata.[1] Allah SWT. berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ.
"Allah
pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan)
sesuatu maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya "Jadilah" lalu
jadilah ia." [Q.S. al-Baqarah: 117].
Imam Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah mengatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, bid'ah al-Huda (baik) dan bid'ah al-Dlalal
(sesat), yaitu sesuatu yang tidak sesuai (bertentangan) dengan apa yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bid'ah semacam ini
termasuk dalam kategori perkara yang dicela, dikecam dan diingkari oleh
syara'. Adapun perkara-perkara yang yang termasuk dalam keumuman sesuatu
yang disunahkan dan dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka semua
itu termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, walaupun perbuatan
itu sebelumnya belum pernah ada, seperti sifat dermawan dan mengerjakan
perbuatan ma'ruf. Semua itu termasuk dalam kategori perbuatan-perbuatan
yang terpuji dan tidak boleh dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan
syara' karena sungguh Nabi SAW telah menjanjikan pahala bagi
orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Beliau
bersabda: "Barang
siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) maka baginya pahala
dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang mengerjakannya." Sebaliknya beliau bersabda: "Dan barang siapa melakukan suatu perbuatan yang sayyi'ah (jelek) maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya." [H.R. Muslim dll.]. Sedangkan perbuatan jelek adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Termasuk dalam kategori ungkapan "Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik)." adalah ucapan sahabat Umar: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini",
yakni ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk bersama-sama
melaksanakan shalat terawih berjamaah. Karena hal itu termasuk dari
perbuatan baik dan termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, maka
beliau (Umar) menamakan sebagai bid'ah dan memujinya karena Nabi SAW
tidak pernah melakukan perbuatan itu (mengumpulkan orang-orang untuk
melakukan shalat terawih berjamaah) sebelumnya. Hanya saja beliau (Nabi
SAW) shalat beberapa malam lalu meningggalkannya. Beliau tidak
melanggengkannya dan beliau juga tidak mengumpulkan orang-orang untuk
mengerjakannya. Hal
itu juga tidak terjadi di zaman Abu Bakar RA. Oleh karena itulah beliau
sahabat Umar RA mengatakannya sebagai bid'ah yang pada hakekatnya
adalah sunah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Berpegang teguhlah kamu semua terhadap sunahku dan sunah khulafaurrasyidin sesudahku." [H.R. Ibnu Majah dll.]. Nabi SAW juga bersabda: "Ikutlah kamu semua kepada dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar." [H.R. al-Thabrani dll.].
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa yang dimaksud dengan hadits: "Setiap perkara yang baru adalah bid'ah."
adalah sesuatu yang bertentangan (tidak sesuai) dengan dasar syari'at
dan tidak sesuai dengan sunah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushahaha,
beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits itu
adalah bid'ah yang jelek yang tidak sesuai dengan dasar-dasar syariat.
Redaksi hadits semacam ini banyak kita temukan pada hadits-hadits
Rasulullah SAW, seperti hadits:
1. "Tidak ada shalat di hadapan makanan." Para ulama berkata, yakni shalat yang sempurna.
2. "Tidak beriman diantara kalian sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri." Para ulama berkata, yakni iman yang sempurna.
3. “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman dan demi Allah tidak beriman.”, Rasul menjawab, "Orang yang kejahatnnya tidak membuat aman tetangganya.”
4. “Tidak masuk surga orang yang tukang fitnah dan adu domba….” atau “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturrahim dan orang yang durhaka kepada orang tuanya.” Para ulama mengatakan bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga orang yang menghalalkan perbuatan itu.
Kesimpulannya
bahwa para ulama tidak memahami hadits sesuai dengan teksnya saja,
tetapi mereka juga menakwilkan dengan berbagai macam takwil. Sedangkan
hadits yang menerangkan bid’ah ini termasuk hadits-hadits yang menjadi
pembahasan utama seperti di atas, maka keumuman hadits dan kondisi para
sahabat telah memberikan arti bahwa yang dimaksud dengan bid’ah di sini
adalah bid’ah yang jelek (tercela).[2]
Orang-orang
yang mengingkari terhadap adanya bid’ah hasanah selalu berargumen bahwa
hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, lalu mereka
mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah dianggap sesat dan tidak sesuai dengan syariat agama
Islam. Allah SWT berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. [الحشر/7]
“Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [Q.S. al-Hasyr: 7].
Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman: “Dan apa yang tidak dikerjakan oleh rasul maka tinggalkanlah.”
Dalam ayat tersebut Allah SWT hanya melarang untuk meninggalkan sesuatu
yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu maka jauhilah dia.” [H.R. Muslim dll.]. Rasulullah SAW tidak mengatakan: “Dan apabila aku tidak pernah melakukan sesuatu maka jauhilah sesuatu itu.”
Marilah
kita renungkan kedua dalil di atas. Setiap akal yang sehat, yang
terbebas dari rasa dengki dan hasud pasti akan menyimpulkan bahwa segala
sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW belum tentu sesuatu
itu haram atau bahkan sesat untuk dikerjakan. Karena pengharaman dan
penghalalan suatu perkara harus berlandaskan pada nash, baik itu dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang terhadap sesuatu itu. Bukan berdasarkan “kaidah”: “Bahwa rasulullah tidak pernah melakukannya.”
Oleh
karena itu, barang siapa menganggap keharaman suatu perkara dengan
argumen bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukannya, maka sungguh
argumennnya itu tidak berdasarkan dalil dan tertolak.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
diceritakan bahwa suatu hari Khalid bin Walid bersama Rasulullah SAW
masuk ke rumah Maimunah, kemudian beliau diberi hidangan berupa biawak (dhab) panggang. Rasulullah SAW sempat menjulurkan tangannya, kemudian Rasulullah SAW diberi tahu bahwa Itu adalah dhab. Akhirnya beliaupun mengangkat tangannya, tidak jadi mencicipi hidangan itu. Khalid bin walid bertanya kepada Rasulullah: “Apakah itu haram wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi hidangan itu (dhab) tidak terdapat di negeri kaumku.” Khalidpun akhirnya menyantap hidangan itu di hadapan Rasulullah SAW.[3] Dalam hadits tersebut terdapat kaidah ushuliyah: ”Bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW tidak berarti sesuatu itu hukumnya adalah haram.”[4]
[1] Al-Hafidz Abu al-Fadl al-Shiddiq, Itqon al-Shan'ah Fii Tahqiqi Ma'na al-Bid'ah, 1.
[2] Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahaha, 102-103.
[3] Shشhih Muslim, Hadits no. 1945.
EmoticonEmoticon