Sistem Pemerintahan Khilafah ala HTI dan ISIS dalam Pandangan Ulama
Urgensi khilafah dalam ranah politik
Islam sebagai simbol pemersatu kaum Muslimin dan lambang kejayaan umat
Islam di masa silam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya
khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab
mereka. Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa
khilafah bukan termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.
Hujjatul Islam al-Ghazali berkata: “Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fikih (ijtihad ulama). Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya”. (al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut: al-Hikmah, 1994), hal. 200, (edisi Muwaffaq Fauzi al-Jabr).
Fatwa al-Azhar juga menegaskan bahwa: “Sistem khilafah, imarah, pemerintahan, presiden republik dan lainnya adalah sekedar sebuah istilah, bukan termasuk nama dalam agama dan bukan hukum agama” (Fatawa al-Azhar 7/359)
Usia Khilafah Hanya 30 Tahun
Sabda Rasulullah bukanlah sekedar ucapan yang berdasarkan nafsu, melainkan berdasakan wahyu kepadanya (al-Najm: 3-4), dalam masalah Khilafah Rasulullah telah membatasinya dengan masa, tidak berlaku untuk selamanya. Rasulullah Saw bersabda: “al-Khilafatu fi ummatii tsalaatsuna sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalika”. Artinya: “Usia khilafah dalam umatku adalah 30 tahun, kemudian setelah itu adalah sistem kerajaan” (HR Ahmad No 21978 dan Turmudzi No 2226, ia mengatakan: ‘Hadis ini hasan’)
Kebenaran hadis ini telah diteliti oleh ahli hadis al-Hafidz as-Suyuthi, beliau mengatakan: “Masa Abu Bakar menjadi Khalifah adalah 2 tahun, 3 bulan dan 10 hari. Umar adalah 10 tahun, 6 bulan dan 8 hari. Utsman adalah 11 tahun, 11 bulan dan 9 hari. Ali adalah 4 tahun, 9 bulan dan 7 hari” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sahih Turmudzi 6/8). Jika digenapkan maka telah sesuai dengan hitungan Rasullah, yaitu sekitar 30 tahun
Kesalahan Memaknai Hadis Datangnya Khilafah
Hudzaifah berkata: “Sesungguhnya Nabi r bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah I mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian. Lalu Nabi r diam”.
Menurut sebagian kalangan, hadits Hudzaifah di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada 5 fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi r. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase khilafah al-nubuwwah yang sedang dinanti-natikan kalangan tertentu.
Asumsi tentang hadits ini adalah tidak benar. Karena menurut semua ulama, yang dimaksud dengan kabar gembira (bisyarah) khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H). Di antara ulama tersebut 1) al-Imam Ahmad bin Hanbal, 2) Abu Bakar al-Bazzar, 3) Abu Dawud al-Thayalisi, 4) Abu Nu’aim al-Ashfihani, 5) al-Hafizh al-Baihaqi, 6) al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, 7) al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, dan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani.
Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Asy’ari al-Syafi’i, ulama Sunni, kakek Syaikh Taqiyyudin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyebutkan dalam kitabnya, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, hal. 527, bahwa yang dimaksud dengan khilafah al-nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.
Pandangan para ulama diatas telah sesuai dengan redaksi hadis yang sering sengaja tidak disampaikan sebagai lanjutan riwayat diatas. Yaitu setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, maka Yazid bin Nu’man berkata kepadanya: “Saya harap Umar bin Abdul Aziz sebagai Amir al-Mu’minin (Khalifah) setelah masa raja yang otoriter”. Kemudian Umar bin Abdul Aziz senang dengan hal itu dan mengaguminya (HR Ahmad 4/273)
Hadis Tentang Banyaknya Pemimpin Umat Islam
Abu Hazim berkata: “Saya belajar kepada Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits dari Nabi r yang bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka” (HR Muslim No 1842)
Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari (Ulama Sunni), menjelaskan dalam kitabnya, Muthabaqat al-Ikhtira’at al-’Ashriyyah limaa Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, hal. 43, bahwa Nabi r telah mengabarkan, “Umat Islam akan dipimpin oleh banyak penguasa (tanpa penguasa tunggal).”
Bahtsul Masail Tentang Khilafah
Para ulama di Jatim telah melakukan Bahtsul Masail (seperti Komisi Fatwa MUI) tentang Khilafah di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong Pajarakan Probolinggo, 21-23 Syawal 1428 H. / 02-04 Nopember 2007. Keputusannya menyatakan secara tegas, bahwa Tidak ada dalil nash yang mewajibkan berdirinya khilafah, karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyah.
Dalil empirisnya adalah sebelum Rasulullah Saw wafat sama sekali tidak ada wasiat tentang siapa calon Khalifah (pengganti Nabi) dan bagaimana sistem itu dijalankan. Ternyata Rasulullah menyerahkan kepada para sahabat itu untuk menentukan sistem yang akan dijalankannya sepeninggal Raulullah Saw.
Kejayaan Islam Bukan Karena Khilafah
Point utama kejayaan Islam bukan karena khilafah, kalaupun karena khilafah itu tidak lepas dari kehebatan personal dan pribadi para Khulafa’ ar-Rasyidin yang banyak dipuji oleh Rasulullah dalam hadis-hadis sahih. Namun secara umum Rasulullah memberi penjelasan yang indah: “Inna shalaaha awwali hadzihi al-ummati bi az-zahaadati wa al-yaqiini wa halaakuhaa bi al-bukhli wa al-amali”. Artinya: “Sungguh kejayaan generasi awal umat ini adalah dengan sifat zuhud (tidak cinta dunia) dan keyakinan. Dan kehancuran generasi akhir umatku adalah dengan kikir dan angan-angan panjang” (HR Ahmad dalam az-Zuhd, Thabrani dan Baihaqi dari Amr bin Syuaib)
Penutup
Mengenang kembali dan bernostalgia tentang kejayaan Islam di masa Khalifah hanyalah semakin membuat mimpi yang tak berkesudahan. Sebab di samping pentingnya membuat sebuah sistem, ada hal yang jauh lebih penting, yaitu membentuk kesalehan individu, komunitas dan akhirnya akan terbangun kesalehan sosial, sebagaimana Rasulullah Saw telah berhasil menjadikan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sebagai pemimpin yang luar biasa hebatnya sebagai pengganti Rasulullah Saw.
Sementara dari segi dalil, mendirikan khilafah yang dikumandangkan saat ini bukanlah berdasarkan dalil yang pasti dan akurat, melainkan berdasarkan asumsi yang justru bertolak belakang dengan pendapat mayoritas ulama. Maka tepatkah mendirikan ‘sesuatu yang besar’ yang didasarkan pada pondasi agama yang rapuh?.
Hujjatul Islam al-Ghazali berkata: “Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fikih (ijtihad ulama). Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya”. (al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut: al-Hikmah, 1994), hal. 200, (edisi Muwaffaq Fauzi al-Jabr).
Fatwa al-Azhar juga menegaskan bahwa: “Sistem khilafah, imarah, pemerintahan, presiden republik dan lainnya adalah sekedar sebuah istilah, bukan termasuk nama dalam agama dan bukan hukum agama” (Fatawa al-Azhar 7/359)
Usia Khilafah Hanya 30 Tahun
Sabda Rasulullah bukanlah sekedar ucapan yang berdasarkan nafsu, melainkan berdasakan wahyu kepadanya (al-Najm: 3-4), dalam masalah Khilafah Rasulullah telah membatasinya dengan masa, tidak berlaku untuk selamanya. Rasulullah Saw bersabda: “al-Khilafatu fi ummatii tsalaatsuna sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalika”. Artinya: “Usia khilafah dalam umatku adalah 30 tahun, kemudian setelah itu adalah sistem kerajaan” (HR Ahmad No 21978 dan Turmudzi No 2226, ia mengatakan: ‘Hadis ini hasan’)
Kebenaran hadis ini telah diteliti oleh ahli hadis al-Hafidz as-Suyuthi, beliau mengatakan: “Masa Abu Bakar menjadi Khalifah adalah 2 tahun, 3 bulan dan 10 hari. Umar adalah 10 tahun, 6 bulan dan 8 hari. Utsman adalah 11 tahun, 11 bulan dan 9 hari. Ali adalah 4 tahun, 9 bulan dan 7 hari” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sahih Turmudzi 6/8). Jika digenapkan maka telah sesuai dengan hitungan Rasullah, yaitu sekitar 30 tahun
Kesalahan Memaknai Hadis Datangnya Khilafah
Hudzaifah berkata: “Sesungguhnya Nabi r bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah I mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian. Lalu Nabi r diam”.
Menurut sebagian kalangan, hadits Hudzaifah di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada 5 fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi r. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase khilafah al-nubuwwah yang sedang dinanti-natikan kalangan tertentu.
Asumsi tentang hadits ini adalah tidak benar. Karena menurut semua ulama, yang dimaksud dengan kabar gembira (bisyarah) khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H). Di antara ulama tersebut 1) al-Imam Ahmad bin Hanbal, 2) Abu Bakar al-Bazzar, 3) Abu Dawud al-Thayalisi, 4) Abu Nu’aim al-Ashfihani, 5) al-Hafizh al-Baihaqi, 6) al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, 7) al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, dan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani.
Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Asy’ari al-Syafi’i, ulama Sunni, kakek Syaikh Taqiyyudin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyebutkan dalam kitabnya, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, hal. 527, bahwa yang dimaksud dengan khilafah al-nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.
Pandangan para ulama diatas telah sesuai dengan redaksi hadis yang sering sengaja tidak disampaikan sebagai lanjutan riwayat diatas. Yaitu setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, maka Yazid bin Nu’man berkata kepadanya: “Saya harap Umar bin Abdul Aziz sebagai Amir al-Mu’minin (Khalifah) setelah masa raja yang otoriter”. Kemudian Umar bin Abdul Aziz senang dengan hal itu dan mengaguminya (HR Ahmad 4/273)
Hadis Tentang Banyaknya Pemimpin Umat Islam
Abu Hazim berkata: “Saya belajar kepada Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits dari Nabi r yang bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka” (HR Muslim No 1842)
Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari (Ulama Sunni), menjelaskan dalam kitabnya, Muthabaqat al-Ikhtira’at al-’Ashriyyah limaa Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, hal. 43, bahwa Nabi r telah mengabarkan, “Umat Islam akan dipimpin oleh banyak penguasa (tanpa penguasa tunggal).”
Bahtsul Masail Tentang Khilafah
Para ulama di Jatim telah melakukan Bahtsul Masail (seperti Komisi Fatwa MUI) tentang Khilafah di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong Pajarakan Probolinggo, 21-23 Syawal 1428 H. / 02-04 Nopember 2007. Keputusannya menyatakan secara tegas, bahwa Tidak ada dalil nash yang mewajibkan berdirinya khilafah, karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyah.
Dalil empirisnya adalah sebelum Rasulullah Saw wafat sama sekali tidak ada wasiat tentang siapa calon Khalifah (pengganti Nabi) dan bagaimana sistem itu dijalankan. Ternyata Rasulullah menyerahkan kepada para sahabat itu untuk menentukan sistem yang akan dijalankannya sepeninggal Raulullah Saw.
Kejayaan Islam Bukan Karena Khilafah
Point utama kejayaan Islam bukan karena khilafah, kalaupun karena khilafah itu tidak lepas dari kehebatan personal dan pribadi para Khulafa’ ar-Rasyidin yang banyak dipuji oleh Rasulullah dalam hadis-hadis sahih. Namun secara umum Rasulullah memberi penjelasan yang indah: “Inna shalaaha awwali hadzihi al-ummati bi az-zahaadati wa al-yaqiini wa halaakuhaa bi al-bukhli wa al-amali”. Artinya: “Sungguh kejayaan generasi awal umat ini adalah dengan sifat zuhud (tidak cinta dunia) dan keyakinan. Dan kehancuran generasi akhir umatku adalah dengan kikir dan angan-angan panjang” (HR Ahmad dalam az-Zuhd, Thabrani dan Baihaqi dari Amr bin Syuaib)
Penutup
Mengenang kembali dan bernostalgia tentang kejayaan Islam di masa Khalifah hanyalah semakin membuat mimpi yang tak berkesudahan. Sebab di samping pentingnya membuat sebuah sistem, ada hal yang jauh lebih penting, yaitu membentuk kesalehan individu, komunitas dan akhirnya akan terbangun kesalehan sosial, sebagaimana Rasulullah Saw telah berhasil menjadikan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sebagai pemimpin yang luar biasa hebatnya sebagai pengganti Rasulullah Saw.
Sementara dari segi dalil, mendirikan khilafah yang dikumandangkan saat ini bukanlah berdasarkan dalil yang pasti dan akurat, melainkan berdasarkan asumsi yang justru bertolak belakang dengan pendapat mayoritas ulama. Maka tepatkah mendirikan ‘sesuatu yang besar’ yang didasarkan pada pondasi agama yang rapuh?.
Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin (Narasumber Hujjah Aswaja di TV9, Mantan Ketua LBM-NU Surabaya, Waki Katib PCNU Surabaya).
EmoticonEmoticon