Aqiqah Dan Hukum Yang Berkaitan Dengannya
I.
Pengertian Aqiqah
Secara pendekatan lughawiyah (bahasa) aqiqah mempunyai arti rambut
yang dimiliki oleh bayi. Telah membudaya dan menjadi tradisi orang Arab ketika
memberi nama sesuatu selalu ditalikan dengan nama penyebabnya atau hal yang
berkaitan erat denganya.
Karena hewan aqiqah ini disembelih pada saat pencukuran rambut bayi, maka dipinjamlah kata tersebut untuk memberi nama ritual ibadah ini. Sedangkan menurut syariat Islam aqiqah adalah hewan sembelihan yang dipotong pada hari ketujuh kelahiran anak[1].
Karena hewan aqiqah ini disembelih pada saat pencukuran rambut bayi, maka dipinjamlah kata tersebut untuk memberi nama ritual ibadah ini. Sedangkan menurut syariat Islam aqiqah adalah hewan sembelihan yang dipotong pada hari ketujuh kelahiran anak[1].
II.
Hukum dan Landasan
Aqiqah
Para fuqaha’ (pakar hukum) berbeda pendapat
tentang permasalahan hukum aqiqah. Perbedaan mereka dikarenakan berangkat dari
pemahaman terhadap beberapa hadist yang berbeda. Madzab Hanafiyah mengatakan
bahwa hukum aqiqah adalah cuma mubah saja. Umat islam bebas diperkenankan untuk
melakukan dan meninggalkan ritual aqiqah ini. Dasar dari pendapat mereka
adalah sebuah atsar (perkataan) sayidah A’isah
نسخت الاضحية كل ذبح كان قبلها
‘pensyariatan kurban telah menyalin dan mengamandemen semua
bentuk ibadah persembelihan sebelumnya’. [2]
Suatu hal yang pasti bahwa saidah A’isah mengatakan demikian adalah bukan dari
aktifitas ijtihad (penggalian hukum sendiri) yang dilakukan oleh beliau, akan
tetapi memang ada interaksi dan mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Karena
proses nasakh (amandemen hukum) tidak bisa dilakukan dengan ijtihad, namun
harus ada doktrin langsung dari nas al-Quran atau Hadist.[3]
Sedangkan mayoritas para ulama berpendapat bahwa bagi seorang ayah atau orang
yang kewajiban memberikan nafkah disunahkan menyembelih hewan aqiqah untuk bayi
yang baru lahir. Karena ada sebuah riwayat dari Ibnu Abas
عق عن الحسن و الحسين عليهما السلام كبشا كبشا
Rasulullah telah melakukan ibadah ritual aqiqah dengan menyembelih
kambing untuk masing-masing Hasan dan Husain a.s.
Dan sabda Rasululah
كل غلام رهينة بعقيقته, تذبح عنه يوم سابعه, ويسمي
فيه, ويحلق رأسه
Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih
untuknya pada hari ketujuh kelahiran, dengan memberikanya sebuah nama, dan
mencukur rambut kepalanya.
III.
Hikmah Aqiqah
Aqiqah adalah bentuk rasa bersukur atas nikmat yang telah
diberikan Allah kepada hambanya dalam bentuk rizqi seorang anak. Dengan
mendapatkan nikmat tersebut seorang yang melaksanakan ibadah aqiqah diharapkan
dapat berbagi kesenangan kepada para kerabat, tetangga, dan teman dekat
sehingga menumbuhkan ikatan rasa cinta kasih di hati mereka.
IV.
Kriteria Hewan Aqiqah
Jenis, umur, dan persyaratan pada hewan aqiqah
adalah sama persis dengan hewan yang akan dijadikan kurban. Hanya saja dalam
aqiqah lebih diprioritaskan pada persembelihan kambing, karena hal inilah yang
telah dilakukan oleh Rasul untuk Hasan dan Husein. Jika bayi yang dilahirkan
adalah laki-laki maka aqiqahnya dengan dua kambing, sedangkan bila bayi
perempuan maka aqiqahnya dengan satu kambing saja. Demikian ini berdasarkan
hadist yang telah diriwayatkan oleh Saydah A’isah
مكافئتان
وعن الجارية شاة عن الغلام شاتان
Ketika bayi laki-laki adalah dengan dua kambing yang tercukupi dan
jika bayi perempuan hanya dengan satu kambing.
Walaupun ketentuan yang sudah berlaku demikian
akan tetapi hukum Islam ini tidaklah bersifat keras dan kaku, oleh sebab itu
jika seseorang hanya mampu menyembelih satu kambing untuk satu bayi
laki-laki maka sudah mendapat pahala sunah meskipun tidak sepenuhnya. Tatacara
meyembelihnya-pun juga tidak disyaratkan dua sekaligus, tetapi boleh dengan
diangsur satu-persatu. Di satu sisi, jenis hewan aqiqah yang disembelih tidak
hanya dikhususkan pada kambing, bahkan seseorang diperkenankan menyembelih sapi
atau unta untuk tujuh anak perempuan.
V.
Waktu Penyembelihan
Aqiqah
Pada dasarnya dan sudah menjadi sunah dari Nabi
bahwa waktu penyembelihan hewan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran
dengan memulai perhitunganya dari hari kelahiran bayi, bila bayi dilahirkan
pada waktu malam hari, maka permulaan hitungan dimulai pada siang hari
sesudahnya. Akan tetapi dari madzab Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa
penyembelihan hewan aqiqah boleh dan dianggap syah dilaksanakan sebelum dan
sesudah hari ketujuh yang tidak sampai melebihi waktu baligh. Bahkan imam Qafal
dan imam Syasyi serta didukung oleh sebagian golongan madazab Hambali
berpendapat bahwa seseorang diperkenankan dan disunahkan untuk melaksanakan
ritual aqiqah untuk dirinya sendiri, karena ada sebuah hadist yang
diriwayatkan dari imam Baihaki bahwa Nabi pernah melaksanakan aqiqah untuk
dirinya sendiri sesudah diangkat jadi nabi.[4]
VI.
Hukum Daging Hewan
Aqiqah
Hukum daging pada hewan aqiqah sama persis dengan hukum hewan
kurban, yaitu diperbolehkan untuk memakan sebagian dan memberikan sisanya
kepada orang lain. Akan tetapi dalam aqiqah lebih disunahkan untuk dimasak
terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada orang lain. Sedangkan mengadakan
resepsi walimah (acara makan-makan bersama) dengan mengundang tetangga sekitar
hukumnya adalah khilaful aula (tidak sesuai dengan sesuatu yang diutamakan),
karena anjuranya adalah dengan membagikan langsung kerumah para tetangga bukan
mengundangnya, bahkan madzab Maliki menghukumi makruh hal tersebut. [5]
VII.
Hukum-Hukum yang
Berkaitan dengan Maulud (anak baru lahir)’
Hukum-hukum yang berkaitan dengan anak yang baru lahir sangat
banyak sekali, akan tetapi yang paling penting diantaranya adalah:
a) Mendedangkan suara adzan
di kuping bayi sebelah kanan, dan menyuarakan iqamah di kuping sebelah kiri.
Hal ini disunahkan, selain untuk ittiba’ (ikut perilaku Rasul) juga untuk
menanamkan pondasi tauhid di hati bayi. Di sisi lain juga dianjurkan untuk
membaca doa di kuping sebelah kanan, yaitu “ Inni u’idzuha bika wadzurriyataha
minas syaithanir rajim”, (sesungguhnya saya meminta pada-Mu untuk menjaga bayi
dan keturunanya dari syaitan yang terlaknat). Di musnad ibn Razin juga
diterangkan supaya ditambah dengan membacakan surat al-ikhlas di kuping sebelah
kanan.[6]
b) Mencenta’inya dengan
kurma atau suatu hal yang manis pada hari ketujuh kelahiran. Tata cara centa’
adalah seseorang mengunyah terlebih dahulu buah kurma atau sesuatu yang manis
sampai lembut kemudian mengeluarkanya dan menyuapkan kepada bayi sampai
tertelan. Mencenta’I ini sebaiknya dilakukan oleh orang alim dan shaleh supaya
diharapkan bisa menularkan barokahnya.
c) Memberikan nama baik
kepada bayi pada hari ketujuh kelahiran atau saat hari kelahiran ketika tidak
menghendaki untuk menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh. Nama-nama yang
paling utama adalah dengan menggunakan nama Abdullah, Abdur Rahman, dan
nama-nama yang disandarkan pada Allah atau asma’ul husna. Selain itu juga
disunahkan menggunakan nama yang diawali dengan Muhamad, nama-nama nabi dan
para malaikat.
d) Mencukur keseluruhan
rambut bayi sesudah penyembelihan hewan aqiqah, setelah itu menimbang rambut
tersebut dengan berat emas atau perak dan kemudian disedekahkan kepada fakir
miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili,
Wahbah, 1997, “FIQHUL ISLAMI”, Beirut; Darul Fikr.
Al-Nawawi,1996,
Al- MAJMU’, Beirut, Darul Fikr.
Al
Syarbani, Syamsudin Muhamad ibn al-Khathbi, 1997, “Mughnil Muhtaj”, Beirut;
Darul Fikr.
[1] Wahbah
Zuhaili, 1997, “FIQHUL ISLAMI”, Beirut; Darul Fikr, vol 4, hlm : 2745
[2] Ibid
[3] Badai’us
Shanai’
[4]
Al-Nawawi,1996, Al- MAJMU’, Beirut, Darul Fikr, vol 8, hlm 322-323
[5] Op.Cit,
Wahbah Zuhaili
[6] Syamsudin
Muhamad ibn al-Khathbi al Syarbani, 1997, Mughnil Muhtaj, Beirut; Darul Fikr,
vol 4, hal 394-396.
EmoticonEmoticon