Ilmu Fiqh Dan Cakupannya
Oleh : Ust. Sulhan Habib
Fiqih secara bahasa adalah alfahmu (pemahaman), adapun
secara istilah adalah memahami hukum syariat yang bersifat amaliah yang dikaji
melalui dalil-dalilnya terperinci[1]. Jadi pakar fikih seseorang yang mendalami dan
punya keahlian dalam hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya secara
terperinci. Istilah ini dalam bahsa Arab terkenal dengan sebutan faqih dengan
bentuk jama’ fuqaha’.
Penggunaan istilah fiqih pada awalnya tidak hanya terbatas
pada suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan persoalan hukum-hukum
sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Ketika di jaman Rasulullah, segala
persoalan yang terjadi di tengah-tengah para shahabat baik yang menyangkut
hukum atau yang lain bisa diselesaikan secara langsung oleh Nabi dengan
bimbingan wahyu atau penalaran beliau tentang wahyu. Namun sepeninggal beliau
persoalan kaum muslimin baik secara kualitas dan kuantitas semakin meningkat.
Hal ini seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan
tersebarnya ajaran Islam keberbagai daerah yang kondisi sosial budaya sudah
tidak sama dengan kondisi sosial pada masa Rasul dan shahabat. Selain itu
disebabkan banyakanya bangsa-bangsa diluar Islam yang memeluk agama Islam,
sehingga terjadi perpaduan berbagai ragam budaya dan pemikiran. Dengan demikian
persoalan yang terjadi tidak hanya terfokus pada masalah hukum, tetapi juga
aqidah, budaya, dan yang lain.[2]
Istilah fiqih kemudian telah mengkristal menjadi sebuah
disiplin ilmu dan salah satu doktrin terpenting dalam Islam. Bahkan pada
sekarang semua pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits nabi, baik menyangkut
hukum, teologi akhlak dikategorikan sebagai fiqih. Pendek kata bahwa
terminology fiqih pada saat itu telah berorientasi pada tafaqquh fiddin, suatu
pemahaman yang mencakup semua sisi ajaran Islam.[3]
Untuk memperjelas pemaknaan fiqih pada periode ini, dalam
sebuah hadits, Nabi pernah mendoakan keponakanya Ibn Abbas, “Allahumma faqqihhu
fi addin” (Ya Allah berilah dia pemahaman tentang agama)[4]. Dari sini tampak sekali
bahwa Nabi tidak menegaskan suatu pengertian fiqih pada makna yang eksklusif
tentang hukum, namun lebih sebagai suatu pemahaman yang mendalam tentang agama
secara umum yang mencakup semua dimensi agama. Oleh karena itu, tak heran jika
pada masa sahabat telah muncul berbagai corak pemahaman terhadap Al-Quran dan
Hadits yang dimasukkan dalam kategori fiqih. Sejarah telah mencatat ada fiqih
Umar Ibn Khattab, fiqih Abdullah Ibn Mas’ud, fiqih Ibn Abbas, fiqih Aisah dan
lain-lain.
Bahkan menurut Prof Ahmad Hasan dalam bukunya -The Early
Development of Islamic Jurisprudence- sebagaimana dikutip oleh Mun’im Sirri
bahwa terminology fiqih belum dipahami sebagai suatu kajian yang berpekstrum
khusus hingga masa pemerintahan Makmun. Hal ini bisa terbukti bahwa dalam kitab
Fiqhu al-Akbar karya imam Hanifah bukan saja memasukkan persoalan fiqhiyah,
akan tetapi juga masalah-masalah akidah dan akhlak, bahkan materi akidah justru
paling dominan di sana.[5]
Baru setelah imam Syafi’I mengarang kitab al-Um, yang di
dalamnya membahas pendapat-pendapat yang berhubungan dalil-dalil dan
argumentasi dari pendapat, mulailah ilmu fiqih lebih spesifik membahas hanya
masalah-masalah yang berkaitan tentang hukum. Kitab al-Um adalah induk dari
segala pemahaman yang berkenaan dengan Islam, dari persoalan ibadah, muamalah,
hingga persoalan kenegaraan. Kitab ini sebagai rujukan utama dari murid-murid
Imam Syafi’I dalam mengarang kitab, sehingga banyak kitab fiqih yang tersebar
dikalangan umat Islam dengan model pensyarahan kitab mukhtashar.[6]
Setelah kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqhiyah telah
tersebar dikalangan umat Islam, kemudian mereka yang sudah ahli di bidang ini
terkenal dengan sebutan faqih, artinya orang yang benar-benar mampu di bidang
fiqih. Pada saat itu istilah faqih telah menuai makna teknisnya, yakni ulama
yang memfokuskan diri pada persoalan-persoalan fiqih. Sedang fiqih berarti
norma-norma hukum yang mengatur kehidupan manusia.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abu, 1992, “I’ANATUT
THALIBIN”, Beirut, Darul Fikri,
Nasih, Ahmad Munjin, “Kajian Fiqih
Sosial dalam Bahsul Masail”, Tesis,
Luthfi, Assyaukani,. 1998. Politik,
Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer”. Bandung, Pustaka Hidayah,
Sirri, Mun’im A.,1995, “Sejarah
Fiqih Islam”, Surabaya, Risalah Gusti,
[1] Abu Bakar, 1992, “I’ANATUT
THALIBIN”, Beirut, Darul Fikri, hlm 21
[2] Assyaukani, Luthfi. 1998. Politik,
Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer”. Bandung, Pustaka Hidayah,
hlm xi
[3] Mun’im A. Sirri,1995, “Sejarah
Fiqih Islam”, Surabaya, Risalah Gusti, hlm 11
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ahmad Munjin Nasih, “Kajian
Fiqih Sosial dalam Bahsul Masail”, Tesis, hlm 28
[7] Ibid
EmoticonEmoticon