Konsep Pemerintahan Dalam Islam
Oleh : Ust. sulhan Habib
- Pendahuluan
Telah merasuk
pada kebanyakan orang Islam sebuah pemikiran bahwa kemajuan sebuah negara dapat
dilakukan dengan memisahkan agama dan Negara. Islam adalah agama murni
yang tidak ada hubunganya dengan sistem kenegaraan. Sehingga di negara-negara
Timur yang mayoritas penduduknya muslim tersebar sebuah ungkapan
ان الدين لله والوطن للجميع (sesungguhnya agama itu milik Allah sedangkan Negara adalah milik bersama).
ان الدين لله والوطن للجميع (sesungguhnya agama itu milik Allah sedangkan Negara adalah milik bersama).
Agama hanyalah aturan-aturan yang
membahas hubungan manusia dengan Tuhanya, sedangkan aturan sosial kenegaraan
diserahkan penuh kepada manusia.
Pemahaman yang
fatal ini bermula disebarkan oleh kaum imperealisme Barat. Mereka menganggap
bahwa kemajuan Negara-negara Barat yang sudah dicapai sekarang adalah dampak
dari mereka yang menjauh dari agama. Semakin agama tidak ikut campur dalam
urusan politik, maka sebuah Negara akan dapat mengalami kemajuan pesat.
Selanjutnya mereka juga menginginkan konsep Negara sekuler di Barat juga
diterapkan di negara-negara Timur. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh
Mustofa Kamal at Tartuk yang mendirikan Negara sekuler di Turki.
Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Al-Afghani, memang harus diakui bahwa Eropa telah
menjadi modern dengan cara mereka sendiri yaitu dengan tidak sungguh-sungguh
menjadi Kristen. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan pada diri orang Islam,
karena kata-kata orang Eropa berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang
dipahami oleh mereka sendiri. Kaum muslimin akan maju kembali jika bersatu dan
memegang teguh syariat Islam, dan sebaliknya akan lemah seperti sekarang karena
mereka tidak benar-benar menjadi muslim.Oleh sebab itu sangat penting sekali
bila kita kembali menerapkan syariat-syariat Islam. Karena sebenarnya Islam
adalah agama universal yang melayani semua kebutuhan kehidupan termasuk dalam
ketatanegaraan.
Dalam makalah
ini penulis akan membahas dan mengulas pandangan Islam tentang sebuah konsep
Negara. Pada bagian awal akan kami bahas tentang pengertian Imamah dan Khilafah beserta
lembaga dan jabatan yang berada di dalamnya seperti Ahlul Halli wal Aqdi dan
wizarah. Kemudian akan diteruskan dan ditutup dengan pandangan aliran-aliran
Islam tentang konsep Imamah.
I.
Pembahasan
A.
Pengertian Imamah dan negara Islam
Secara linguistik kata imamah berasal
dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti.
Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat
menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan
atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan
dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas
kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At
Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat
universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah
adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat
guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Hal ini
dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan
dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat
disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang
bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan
dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan
akhirat. [1]
Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu
suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa
Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para
ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah tersebut, sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.[2]
Dalam
mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai dua pandangan yaitu:
a.
Negara Islam harus berdasarkan pada perlaksanaan
hukum Islam dan sistemnya.
b.
Negara Islam diasaskan
kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
Kalau orang Muslim mendapat
keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada pendapat yang kedua ini dalam
menentukan negara Islam hanya
ditentukan atas
unsur mayoritas bilangan
Muslim, walaupun undang-undang
dan sistem Islam tidak terlaksana.[3]
B.
Hukum
mendirikan imamah
Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib
dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia
adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan antara satu sama lain.
Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang
pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi bersabda :
اذا
خرج ثلاثة في سفر فليو’مروا أحدهم
Ketika tiga
orang sedang bepergian maka hendaklah satu orang diantara mereka diangkat
menjadi pemimpin.[4]
Sedangkan hukum
mendirikan negara para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Mayoritas mereka,
seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah, Syiah, dan sebagian besar
Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan Islam
adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalam diri umat Islam
harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati. Hal ini tidaklah lain hanya
untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem kemasyarakatan yang
berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar
yang melandasi pendapat golongan ini:
1.
Firman Allah
ياايهاالذين أمنوا أطيعواالله وأطيعوا
الرسول وأولي الأمر منكم
Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada
Allah, Rasulullah, dan Ulil Amri diantara kamu.
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang
dikehendaki dari ulil amri adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik
penguasa pemerintah ataupun para ulama.
2.
Hadist nabi
من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة
جاهلية
Barang siapa yang mati sedangkan dia tidak dalam kekuasaan
baiat khalifah maka dia mati secara jahiliah.
3.
Kosensus para
shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan dengan
bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’adah
sebagai Amirul Mukminin.[5]
Sebagian kecil
ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan imamah adalah tidak wajib tapi cuma
mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar al Asham dari golongan Mu’tazilah,
Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari Mu’tazilah, Dhirar, dan sebagian
kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
لو تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن
الامام
Seandainya saja
masyarakat bisa meninggalkan perbuatan lalim maka mereka tidak lagi membutuhkan
bentuk pemerintahan.
Golongan ini
sangat berpegang teguh dan mendambakan persamaan hak asasi manusia. Anggapan
mereka sistem pemerintahan sangat bersebrangan dengan konsep persamaan derajat
karena disertai dengan pemaksaan dan penindasan dari penguasa. Kalaupun imamah
diartikan sebagai alat untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal itu tidak
akan mengubah hukumnya menjadi wajib. Karena antara imamah dan tanfidzul hukmi
(realisasi hukum Islam) adalah dua kutub yang berbeda dan tidak saling
berkaitan. Realisasi hukum syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya campur
tangan dari penguasa yang mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya imamah
akan merusak kemerdekaan hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Sehingga
dengan adanya imamah akan banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam
diri umat Islam.[6]
Pendapat sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar
hukum Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem
imamah lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua
kerugian haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang
mencakup hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya
imamah untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.[7]
Dalam
mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa dalam penjuru dunia harus
ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama kesatuan dan umatnya harus
berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai dan saling bahu membahu.
Rasulullhah bersabda:
اذا
بويع لخليفتين فاقتلوا الاخر منهما
Apabila telah dibaiat dua khalifah maka perangilah salah
satunya.
Oleh sebab itu
mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh ada 2 imam baik dalam lingkup
satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan tetapi ada segolongan ulama seperti
imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu Shabah as Samarqandi dan beberapa
ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul imam (banyak imam) dalam penjuru
dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam Zaidiyah ketika batas
teretoriyal dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan pemerintahan
Islam demi untuk menjaga kemaslahatan
umat.[8]
C.
Syarat-syarat dan tugas imam
Imam Mawardi memberikan batas-batas
seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
1- Islam, merdeka, laki-laki, baligh,
dan berakal.
2-
'Adalah (adil) yaitu selalu
konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang agama.
3- Mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4- Punya kepribadian yang kuat,
pemberani, dan tidak mudah menyerah[9].
Dalam memimpin sebuah Negara,
seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai
kemakmuran Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang
tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam.
1- Menjaga dan melestarikan hukum-hukum
keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas
tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam.
2- Memerangi musuh yang mengancam
keamanan Negara dan bangsa.
3- Mengatur pemasukan dan pengeluaran
keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib.
4- Menjaga keamanan dan keadilan
warganya[10]
D.
Tata cara pengangkatan imam.
Ditinjau dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala
Negara umat Islam mempunyai beberapa tata cara:
1.
Intikhab (pemilihan langsung)
Tata cara dengan pemilihan langsung terjadi pada masa
khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak
ada orang yang menolak pengangkatan imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja
dalam pemilihan harus diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.[11]
Ahlul Halli wal Aqdi adalah suatu
lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama, budi
pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah kemasyarakatan.
Dalam pemerintahan Islam mereka juga disebut dengan “Ahlul ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih
imam dengan menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura” (lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur
masalah-masalah kemasyarakatan).[12]
Dalam menentukan jumlah Ahlul Halli
wal Aqdi para ulama
mempunyai beraneka ragam pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli
wal Aqdi adalah penyambung lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan
keinginan rakyat akan disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab
itu, syariat dalam
memberi batasan dan memasukkan
kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul
Halli wal Aqdi sebagai berikut:
a)
A’dalah, yaitu karakter untuk selalu
konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
b)
Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi
seseorang yang berhak menjadi imam.
c)
Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan
dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan masalah-masalah sosial
kewarganegaraan.
Tugas-tugas Ahlul Halli wal Aqdi:
1) Memilih kepala Negara dan
membaiatnya (melantiknya)
2) Mengklasifikasi para kandidat imam
yang sudah memenuhi kriteria.
3) Memilih imam yang kelak akan lebih
banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran untuk umat.
4) Menurunkan dan mencopot imam dari
jabatanya ketika ada hal-hal yang menyebabkan imam harus diganti.[13]
2.
Istikhlaf
(mencari pengganti)
Istikhlaf
adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada imam baru yang dianggap
memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah negara dengan mendapat
persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan al
‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini
terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikanya.
Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat
jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk
mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak Rasul
dengan tidak mencari pengganti.[14]
3.
Qahru wal
Ghalabah (kudeta)
Qahru wal
Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak disepakati oleh
ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan oleh
syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan
umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal
ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah
walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai
khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang
melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh umat muslim di negara itu
wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi
oleh orang yang menjadi imam.[15]
E.
Wizarah (Menteri)
Wizarah dalam
konsep negara Islam adalah jabatan yang yang punya kekuasaan menyeluruh sebagai
pengganti imam dalam segala hal urusan dengan tanpa ada pembatasan. Pada masa
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin istilah wizarah masih belum ditemukan. Dalam
menjalankan roda pemerintahan kepala negara (Nabi dan Khulafaur Rasyidin)
dibantu oleh para shahabat. Baru pada masa dinasti Abbasyiah istilah wizarah
dipakai yang diambil dari negara Persia. Imam Mawardi membagi wizarah menjadi
dua bagian:
1)
Wizaratut
tafwidz yaitu seseorang yang diberi wewenang penuh oleh imam untuk mengatur dan
menyelesaikan masalah dari hasil pendapat dan pemikiranya sendiri. Jabatan ini
hampir menyamai dengan kedudukan khalifah, dikarenakan seorang wazir punya
wewenang sebagaimana wewenang yang telah dimiliki oleh imam, seperti merancang
hukum-hukum ketatanegaraan, memutuskan urusan-urusan peradilan, memimpin
tentara, mengangkat panglima dan lain-lain. Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa setiap sesuatu yang berhak dilakukan oleh imam, wazir juga
berhak melakukanya, kecuali tiga hal, a) imam berhak memberikan jabatannya
kepada orang yang sudah menjadi pilihanya, b) imam berhak untuk menghapus imam
baru pada masa kekuasaanya, c) imam berhak memecat bawahan wazir tapi bagi
wazir tidak berhak memecat orang-orang bawahan imam.[16]
2)
Wizaratut
tanfidz yaitu sesorang yang bertugas untuk merealisasikan dan meneruskan
pendapat dan kebijakan imam. Jabatan ini derajatnya lebih rendah dari wizaratut
tafwidz. Seseorang ketika menduduki jabatan ini maka dia tidak berhak untuk
membuat kebijakan sendiri, kalupun dia hendak memutuskan suatu urusan yang
berkaitan dengan pemerintahan maka dia harus mengajukan pendapatnya terlebih
dahulu kepada imam untuk mendapatkan persetujuan. Oleh sebab itu syarat-syarat
untuk menduduki jabatan ini tidak terlalu ketat sebagaimana wizaratut tafwidz.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Ad Damiji,
Abdullah ibn Umar, 1409 H, AL IMAMAH AL U’DZMA, Riyadz, Darut Thibah. Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. ENSIKLOPEDI ISLAM. 1999. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve. cet. Ke-4. 5 jil.
Mawardi, 1960. Ahkamusshultoniyyah.
Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhaili,
Wahbah, 1997, AL FIQHUL ISLAMI WA ADILLATUH vol 8, Beirut; Darul Fikri.
[1] Abdullah
ibn Umar Ad Damiji, 1409 H, AL IMAMAH AL U’DZMA, Riyadz, Darut Thibah,
hlm: 27-29
[2] Ibid,
hlm 32
[3] http://www.islam.gov.my. Diakses pada hari
sabtu tgl 6 -11-2010 jam
14.00,
[4] Wahbah
Zuhaili, 1997, AL FIQHUL ISLAMI WA ADILLATUH vol 8, Beirut;
Darul Fikri, hlm: 6148
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Syarat-syarat ini masih diperdebatkan oleh para ulama, kecuali dalam syarat
Islam, baligh dan berakal.
[10] Ibid
[11] Abdullah ibn Umar, Op.Cit,
hlm: 158
[12] Wahbah Zuhaili, Op.Cit,
hlm: 6169
[13] Mawardi, 1960. Ahkamusshultoniyyah. Beirut:
Dar al-Fikr. Hlm 7
[14] Abdullah ibn Umar, Op.Cit,
hlm: 184
[15] Ibid, hlm: 222
[16] Wahbah Zuhaili, Op.Cit,
hlm: 6218-6220
[17] Ibid, hlm: 6221-6222
EmoticonEmoticon