Gus Dur, Islam Dan Pancasila
Setelah kepergian KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) adalah tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama
dalam kehidupan bernegara. Di NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak
insan yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang bagus. Dari
sederet nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita
panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa.
Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu.
Gus Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya
melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibnu Rushd. Gus Dur juga mempunyai
semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti
al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof
Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh
membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant
dan Bonaventura.
Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai
perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah ghaib. Puluhan atau
bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur
telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah
meninggal dunia.
Dari berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu
dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip
Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam
pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang
saling bertentangan.
Komitmen Humanisme
Kini, di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih
menghadapi tantangan yang tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar
pemikiran Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus Dur adalah bentuk
antisipasi bersama untuk menyelamatkan Pancasila.
Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan
pada komitmen kemanusiaan (humanism-insaniyah/basyariyah) dalam ajaran Islam.
Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan
sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah
politik umat Islam dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia.
Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap
toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan
sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi
dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di
Indonesia.
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur
adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak
sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform
kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip
persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah
basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur
selalu menghindari formalitas Islam dalam negara.
Advertisement
Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatan civil society.
Ia berpendapat, paradigma baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam
adalah mengambil titik masuk strategis, yaitu pembentukan civil society (pemberdayaan rakyat bawah). Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU setelah kembali ke Khittah 1926.
Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi
hanya membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga
menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensi
bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen
utama perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan
geraknya pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan
kepercayaan dirinya.
Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir
Islam dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan
negara Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat
ketika kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
seluruh organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.
Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam
berlangsung sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang
memaknainya atas dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pancasila
sebagai asas organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam
pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang
memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan
nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.
Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas
sebagai negara agama, bukan berarti tidak memperbolehkan umat Islam
menjalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai peranan
sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah inti
hubungan antara Islam dan Pancasila.
Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan
pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara
keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan kegiatan
individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan
dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun 1992 berikrar: “Pancasila
adalah serangkaian prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang
baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan
mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari
kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh
segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila negara
RI tidak akan pernah ada.”
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas
Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah NU, dan bukan
keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan peranan tokoh yang
lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi
lahirnya keputusan itu. Setelah Gus Dur berpulang, rasanya kita memerlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.
Oleh : Ali Masykur Musa (Post Editing)
EmoticonEmoticon